Tuhan Ora Sare
Ahh ..
Akhirnya selesai juga kerjaan2 yang sedari pagi tadi menumpuk ini. Huummff .. Penat serasa menggerogoti kepala dan ubun2. Lelah mata menatap layar komputer. Bergegas ku membereskan meja kerja serta tas, bersiap pulang.
"Arrgghh .. gila !! antrian busway panjang sekali", sentakku cukup keras yang sontak membuat para antrian di sekelilingku melirik sambil mesam-mesem. Ku lirik jam tangan yang baru saja kubeli minggu lalu, jarumnya sudah berada diangka 7. ohh God, sudah terbayang pukul berapa aku akan sampai di kamar mungilku kalau antriannya masih sepanjang ini.
Langit sudah sangat gelap, mungkin karena pengaruh mendung yang sudah sejak sore tadi menggelayuti awan dengan manjanya. Gerimis rintik pun sudah mulai turun. Alhasil, aku sibuk menyeka lengan yang sedari tadi mulai kebagian tampias percikannya.
"Krruucuuukkk .." suara kecil dari perutku berbunyi. Hmm .. sepertinya cacing-cacing sudah meronta nih. Lapaaaarrrr ... tapi antrian masih sangat panjang, stok cemilan dalam tas juga sudah habis. Hooohhh .. malang benar nasibku malam ini. Tak henti ku merutuk dalam hati, sembari ngedumel karena antrian yang gak habis2 dan kebodohan yang gak mikir untuk menyisakan cemilan untuk berjaga-jaga.
Selang sejam kemudian aku pun mendapat bus, untungnya kosong, jadi kebagian tempat duduk. kalo gak kebagian, bisa suntuk berat sangat super mode on nanti ceritanya. Memang sih tidak membutuhkan waktu lama untuk menempuh Sawah Besar - Jatipadang (rute buswayku setiap hari), tapi tetep aja gak rela kalau sudah bercapai-capai mengantre panjang, eh harus berdiri berdesakkan dengan penumpang yang lain juga. hHh, tak u'u deh ..! hehe ..
Sepanjang perjalanan, aku sudah membayangkan ingin makan dengan lauk apa malam ini. Yah, maklumlah, namanya juga anak kos, kerja sepanjang hari, membuat aku kurang sempat memasak masakan seperti temen-temen kos lain yang memang kebanyakan masih kuliah.
Begitu tiba di shelter Jatipadang, hujan mulai beraksi lebih hebat, tidak deras sih, hanya gerimis kencang saja. Yah, masih bisa ditangkis dengan payung mungilku inilah. Bergegas ku naik mikrolet menuju Balai Rakyat Pasar Minggu. Biasanya jam segini tukang makanan lagi banyak-banyaknya nih. Tapi, begitu sampai, Jreng jeng Jeeenngg.. O..ow..! kok sepi banget, gak seperti biasanya. usut punya usut (hasil rumpian dengan tukang parkir sebenernya, hehe) kalo baru saja ada penertiban trotoar bersih oleh kantib setempat sore tadi. Alhasil, yang dagang pada digusurin dan yang belum dagang gak berani mangkal malem ini.
Oh Tuhan .. kenapa cobaan dariMu malam ini sedikit menyebalkan siihh ??? rutukku dalam hati.
Yah, apa boleh buat, dengan gontai aku melangkahkan kaki ke kosan yang masih lumayan jauh dari balai sini. Celingak-celinguk aku sibuk mencari makanan yang murah tapi meriah, dan akhirnya aku melihat gerobak tukang nasi goreng sedang mangkal didekat gang tak jauh dari kos-an ku. Karena malas menunggu lama untuk makan dikosan, kuputuskan makan di tempat saja.
Sambil menyantap nasi goreng pedas yang prosinya lumayan banyak, sembari menunggu hujan yang saat itu mulai deras, aku ngobrol-ngobrol dengan penjual nasgornya. Aku mengamati si Bapak penjual nasgor ini, sepertinya aku baru sekali melihat dia berjualan di sekitar sini. Penampilannya cukup bersih, namun sudah terlihat usianya memasuki masa senja, raut mukanya sudah mulai dihiasi kerutan halus, dan kulitnya sudah tak kencang lagi. Kutebak usianya sekitar setengah abad.
"Bapak sudah lama berjualan disini?", aku memulai percakapan.
"Sudah neng, tapi biasanya Bapak mangkal di Siaga sana, kalo disini baru sekali. Neng tinggal dimana ?"
"Ohh .. pantas saya baru lihat Bapak malam ini. Saya kos di gang sebelah, Pak. Kalo Bapak tinggal dimana?" Sembari ku bertanya, aku terus memperhatikan raut wajahnya yang kelihatannya sedang lelah.
"Saya disini ngontrak rumah, neng. istri dan anak saya di kampung. Neng, asal mana ?"
"Oh, saya asli Jakarta Pak, hanya ibu dan ayah saya memang dari luar Jakarta. Wah, Bapak gak kangen tuh sama istri dan anak", Candaku untuk menghangatkan suasana yang cukup dingin oleh angin hujan.
"Kangen, Neng. Kangen sekali. Hanya mau bagaimana lagi, kalau dibawa semua kesini, Bapak takut gak sanggup membiayai mereka. Hidup di Jakarta kan serba mahal. Jadi, yah, Bapak terpaksa sendiri berjuang disini. Syukur2 kalo lagi ada rejeki lebih, 2 bulan sekali bisa menjenguk mereka, sekalian ngelepas rindu sama kampung." Jawabnya terdengar lirih. Sekilas aku melihatnya termenung. Mungkin merasakan kerinduan pada keluarganya disana.
"Hmm .. kalau hujan begini terus, kasihan dagangan Bapak jadi agak sulit laku yah, dibanding hari-hari kemarin yang lumayan cerah" tanyaku memecah kesunyian yang sempat tercipta.
"Iya neng. kalo hujan begini, orang biasanya malas mau keluar rumah nyari nasi goreng pinggiran. Tadi saya juga udah muter komplek, tapi memang lagi sepi".
"Bapak yang sabar yah .." entah kenapa kata-kata itu terlontar dari bibirku.
"Insyaallah Saya berusaha terus untuk bersabar, Neng. Karena walaupun disini hujan dan dagangan Saya sepi, tapi di kampung sawah Saya bisa subur, tidak kering dan bisa cepat panen. Istri dan anak saya tidak susah lagi disana. Tuhan kan gak tidur, Neng. Tuhan ora sare .. Tuhan selalu tau jalan yang terbaik untuk umat-Nya. Walaupun dagangan saya sepi, dan uang yang saya bawa pulang nanti tidak banyak, paling tidak saya terhibur membayangkan keluarga di kampung tersenyum. Kalau dalam keadaan seperti ini, yang bisa dilakukan hanya terus bersyukur, Neng. Maturnuwun Gusti, sumenggo kerso, yang artinya kita tetap berterima kasih pada Sang Gusti, dan ikhlas dengan yang telah diberikan oleh-Nya. Hidup kan cuma titipan, neng. Kalau hari ini gak bersyukur, besok belum tentu dikasih kesempatan".
Hatiku mencelos mendengar jawaban Bapak tadi, sungguh menyentuh. Aku merasa malu terhadap diriku, yang sering mengeluh. Sakit sedikit mengeluh. Capai sedikitpun mengeluh. Dikejar target kerjaan mengeluh. Di perjalanan yang membuat aku harusnya bisa belajar untuk lebih bersabar juga mengeluh, dan masih banyak lagi keluhanku yang mungkin bagai air mengalir tanpa henti, sedikit tapi lama-lama menjadi bukit. Sedangkan dihadapanku saat ini, ada seorang Bapak yang masih berjuang di usianya yang mulai senja, dengan tenaga yang tidak lagi sekuat masa muda dulu, yang harusnya mendapatkan kehidupan yang layak untuk menikmati masa tuanya, namun keadaan yang ada justru berbeda 180 derajat, tapi tetap bersyukur dengan keadaannya.
Malu hati ini rasanya. Ampuni aku, ya Allah, atas ketidak-terima kasih ku selama ini pada Mu..
setitik air mata menggenangi mataku. "Bapak, saya pamit yah. sudah malam. besok saya berangkat kerja pagi-pagi. terimakasih nasi goreng yang lezat ini" aku berpamitan ke seraya membayar makananku.
Sepanjang perjalanan menuju kamar kecilku, setiap langkah aku terus bergumam "Tuhan ora sare .. Tuhan ora sare .. Tuhan ora sare ..".
oleh : valen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar