Mimpi Bayang (Bagian 6)
Bila ada persahabatan yang harus usai dan seseorang harus pergi, maka itu risiko yang tak terhindarkan.
Sang wanita meraih sebuah pigura. Aneka botol kecil berisi bermacam bunga berjajar rapi di dalam pigura itu. Kayu pinus melintang, membentuk rak-rak mini. Beberapa ikat bunga mungil mengisi sekat-sekat rak itu. Ada juga rumpun bunga dalam vas mini. Pigura berjudul Flower Shop itu menggambarkan miniatur sebuah toko bunga.
“Rangkaian ini bagus. Dia pasti menyukainya,” wanita itu menunjukkan pilihannya. Pria itu mengamati pigura itu sejenak dan mengangguk.
“Kau kan mengenal karakternya dengan baik. Berarti, kau harus selalu tahu apa yang dia suka.”
Pria itu kembali mengangguk.
Sang wanita tersenyum samar, “Mungkin, kau juga harus tahu bahwa dia tidak menyukai aku.”
“Maaf, ya…,” gumam sang pria, merasa tidak enak.
“Tak apa-apa. Itu perasaan cemburu yang wajar.”
“Apa yang harus membuatnya merasa cemburu? Sejak awal, kita adalah sahabat. Tapi, dia tidak pernah mau mengerti.”
“Dan, mengapa kau harus memaksanya untuk mengerti?”
“Karena, kau adalah sahabat terbaikku.”
“Tapi, kalau persahabatan kita ini menimbulkan tekanan pada pihak lain, khususnya pada kekasihmu, maka persahabatan ini bukan lagi sesuatu yang positif.”
“Maksudmu?”
“Kalau dia tidak menyukaiku, itu adalah sebuah pilihan dan dia berhak untuk itu. Kalau kau tidak setuju dan memintanya untuk menerima keberadaanku, itu adalah pemaksaan.”
“Tapi….”
“Tapi, kau dan dia saling mencintai. Itu lebih penting.”
“Bagiku, kau juga penting.”
“Dia tidak menyukaiku, itu adalah sebuah pilihan. Kurasa, kita harus menghormati pilihannya. Karenanya, kita jangan bertemu lagi sesudah ini.”
“Itu pilihanmu?”
“Ya,” wanita itu mengangguk.
“Lalu, bagaimana dengan pilihanku?” sergah pria itu.
“Pilihanmu adalah dia. Kau mencintainya, bukan?”
“Benar, aku mencintainya. Tapi, aku juga memerlukanmu. Kau yang selama ini mendengarku, membaca pikiranku….”
“Dia akan melakukannya untukmu.”
“Dia hanya mendengarkan aku ketika aku bercerita tentang apa yang ingin ia dengarkan. Selebihnya, seolah ia tak mau menerima aku apa adanya.”
“Yang perlu kalian lakukan adalah saling belajar untuk mengalahkan ego masing-masing. Beri diri kalian kesempatan untuk itu.”
“Dengan kehilangan dirimu sebagai sahabatku?”
“Bila aku tetap berada di antara kalian, itu tidak adil untuknya. Itu artinya, kau mengutamakan egomu, bukan?” Wanita itu sejenak menghela napas “Itulah hidup. Tidak semua hal terjadi seperti yang kita inginkan. Yang diperlukan adalah menjalaninya dengan ikhlas. Itu saja.”
Sang pria tertegun. Matanya menatap sang wanita, menyiratkan sesuatu. Semacam kepedihan yang samar.
“Nah, sekarang ini pilihanku yang terakhir untuknya. Sesudah ini kau harus memilih sendiri hadiahmu. Gunakan hatimu untuk mengetahui apa yang dia inginkan darimu,” kata wanita itu, sambil mengulurkan pigura dengan miniatur mini berjudul Flower Shop itu.
Frangi menahan napas. Ditatapnya tanpa kedip adegan yang terjadi di hadapannya. Sang pria menerima pigura itu, mengamatinya sesaat. Lalu, entah bagaimana, Frangi tahu apa yang akan terjadi pada pigura bunga itu.
“Pigura itu…,” desisnya. Bibirnya bergetar.
“Ada apa dengan pigura itu?” Bambu menunggu dengan keheranan yang tidak disembunyikan.
“Akan dibungkus dengan kertas berbunga biru langit, berpita ungu, dan disemat bunga lavender,” lanjut Frangi.
Bambu termangu dan menunggu dengan berdebar.
Benar. Pelayan toko membungkus pigura itu dengan kertas biru langit. Pria itu memilih pita ungu muda sebagai pengikat dan wanita itu memetik setangkai bunga lavender sebagai pelengkap.
“Persis seperti yang kau katakan,” cetus Bambu, heran, “bagaimana kau mengetahui hal itu?”
“Entahlah,” Frangi angkat bahu, “aku tahu saja.”
Sesaat kemudian pasangan muda itu beranjak pergi. Frangi berdiri dalam diam, memerhatikan mereka menghilang.
“Mereka pergi. Kau bilang tadi ada yang harus kau tanyakan pada mereka?” Bambu mengingatkan.
Frangi diam. “Aku sudah tahu di mana bisa menemukan mereka.”
Bambu tampak heran. “Di mana?”
“Bila aku pulang nanti.”
“Apakah itu berarti kau sudah menemukan keping terakhir puzzle-mu ?”
Frangi tersenyum. “Hanya bila kau mengantarku menemukan kereta api yang bisa membawaku pulang.”
“Baiklah. Ayo,” Bambu mengulurkan tangan, “kita ke stasiun. Hampir petang. Kita tunggu sampai kereta itu datang.”
Jati bersandar di jendela, tatap matanya nanar menembus tirai. Rembang petang hampir menjelang. Langit mulai redup, menyisakan bias matahari yang samar. Satu dua cahaya lampu mulai berpijar, menyingkirkan gelap ke tepian.
Lalu, diliriknya gadisnya dengan ujung mata. Gadis itu tetap tertidur tenang, tak terusik. Dokter baru saja melakukan kunjungan pemeriksaan rutin. Hasilnya, seperti yang diduga, masih memerlukan kesabaran dan ketabahan.
Baiklah, gumam Jati dalam hati. Memang, hanya itu yang bisa dilakukan saat ini. Hal lain yang tersisa adalah penyesalan. Apa lagi?
“Bangunlah, dan kembalilah padaku,” katanya, dengan harapan yang tersisa. “Telah kulakukan semua yang kau inginkan. Telah kutinggalkan semua ego. Telah kurelakan dia pergi. Sesudah hari ini, dia tidak akan pernah lagi berada di antara kita.”
Lalu, dikatupkannya bibir. Nyeri menekan ulu hati, pedih terasa bagai luka yang tersayat. Perlahan kemudian ditegakkannya diri, menahan segala kepedihan. Harus kuat, katanya pada diri sendiri. Keputusan telah ditentukan, harus diselesaikannya segala langkah. Jangan terhadang oleh keraguan yang menjebak. Bila kemudian ada persahabatan yang harus usai dan seseorang harus pergi, maka itu adalah bagian dari risiko yang tak terhindarkan. Sesal menggenang di sudut hati. Seandainya saja pertengkaran hari itu tidak pernah terjadi. Lalu, tanpa suara disusutnya bening yang menggenang di sudut mata.
Kereta yang ditunggu itu berhenti. Salah satu pintunya terbuka, tepat di depan Frangi.
“Keretamu datang,” kata Bambu. Matanya mengikuti gerakan kereta.
Frangi mengangguk. Mendadak perasaannya terasa aneh. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Perasaan itu, paduan antara senang dan berat hati. Senang karena melihat kereta datang. Karena, itu berarti dia akan segera pulang, menemukan orang-orang yang mencintainya. Tapi, mengapa hati merasa berat untuk pergi? Seperti ada sesuatu yang tak ingin ditinggalkannya.
“Kita berpisah sekarang?” tanya Bambu, perlahan. Disentuhnya bahu Frangi. Lembut sentuhan itu, mengisyaratkan perhatian. Lamunan Frangi terhenti. Sesaat dihelanya napas panjang.
“Apakah kita akan bertemu lagi?” gumamnya.
“Entahlah,” mata Bambu menatap dalam-dalam, “mungkin.”
Hati Frangi berdesir. Tatapan Bambu begitu dalam, bagai menyentuh dasar hati. Lembut, selembut sentuhannya.Lalu, sigap ditangkapnya tatapan itu, disimpannya pada sudut hati. Suatu hari akan diingatnya tatapan mata itu sebagai kenang-kenangan.
Sesaat Frangi tersenyum.
“Kalau kau tak menyembunyikan diri, aku tahu di mana bisa menemukanmu,” katanya, sambil mengulurkan tangan.
“Tentu aku tidak akan bersembunyi. Aku akan selalu ada di sana,” kata Bambu, sambil menyambut jabat tangan itu.
Digenggamnya erat. Lalu, dibantunya gadis itu memasuki kereta. “Hati-hati di jalan. Jangan sampai tersesat lagi,” katanya, berpesan sungguh-sungguh.
“Ya. Terima kasih,” Frangi melambaikan tangan.
Detik berikutnya, kereta segera melaju menjauh, membawa lambaian tangan gadis itu.
Di dalam kereta Frangi meredakan desiran hatinya. Ditariknya napas panjang, berusaha meringankan hati yang mendadak terasa berat. Tapi, aku harus pergi, Frangi menegakkan diri, menguatkan hati, untuk menemukan keping
terakhir puzzle-ku.
Mata gadis itu mengerjap, menangkap sisa bayang Bambu yang tertinggal di kejauhan. Sesungguhnya, masih ada yang ingin dikatakannya pada sahabat barunya itu. Ia ingin bercerita bahwa kepingan terakhir puzzle itu hampir ditemukannya. Keping yang samar, yang membawa ingatannya pada sebuah hari. Pada sebuah pertengkaran, ketika pigura Flower Shop itu pecah dalam bantingan
tangannya….
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar