Mimpi Bayang (Bagian 1)
Ia merasa berada di tempat yang sangat ia kenal. Namun, ada hal-hal yang terasa tidak lazim. Apakah ia tersesat? Di mana dan mengapa?
Frangi berdiri di persimpangan. Matanya menatap sekeliling. Ada jajaran rumah, deretan toko dan kantor, juga resto, kafe, dan warung. Hal-hal biasa yang lazim berada pada sebuah tempat. Tapi, mengapa bangunan-bangunan itu seolah belum pernah dilihatnya? Beberapa orang lalu-lalang. Tapi, tak seorang pun dikenalnya. Sesungguhnya, ini suasana yang biasa. Tapi, di mana?
“Di manakah ini?” tanyanya, pada seseorang yang lewat. Seorang pria, menyandang ransel di bahu, menghentikan langkahnya. Menatap Frangi sesaat.
“Ini Jalan Cemara,” jawabnya.
“Jalan Cemara?” Frangi tahu jalan itu, tapi seingatnya tidak seperti ini. Jalan Cemara yang dikenalnya adalah daerah perkantoran. Semua bangunan di sini menjulang tinggi. Tidak ada bangunan rumah biasa dan warung, seperti yang sekarang dilihatnya.
“Tapi, Jalan Cemara tidak seperti ini,” bantah Frangi.
"Ah, sejak dulu Jalan Cemara di Pringsewu, ya, seperti ini,” tukas pria itu, yakin.
Frangi terkejut. “Apa katamu? Pringsewu?”
“Ya, ini Kota Pringsewu,” pria itu menegaskan.
Pringsewu. Frangi tahu kota itu. Melalui peta pada pelajaran geografi di sekolah dasar, diketahuinya kota kecil itu terletak di perbatasan. Belum pernah kunjunginya. Bahkan, dia tidak pernah bermaksud mengunjungi kota itu. Tidak ada kerabat atau teman disana. Jadi, mengapa dia berada di kota itu?
“Mengapa aku berada di sini?” tanya Frangi.
Pria itu terkejut sesaat. Diamatinya Frangi dengan seksama. “Apakah kau baik-baik saja ?”
Frangi mengerjapkan mata. Bagaimana harus dijawabnya pertanyaan itu? Jawabannya, jelas tidak. Tentu dia tidak baik-baik saja. Dia bahkan tidak tahu mengapa berada di tempat ini. Pun bagaimana dia bisa berada di tempat ini, kendaraan apa yang dia gunakan, dengan siapa berangkat, dan untuk apa. Pertanyaan-pertanyaan yang berderet dalam kecamuk di benaknya.
“Entahlah,” Frangi angkat bahu.
Pria itu menatap lekat. Matanya menampakkan keheranan. “Kau sehat?” tanyanya, hati-hati.
Frangi mencoba menafsirkan pertanyaan itu. Apa yang dimaksudnya dengan sehat? Jelas bahwa dirinya bisa berdiri di tempat ini dengan tegak, tidak limbung. Bukankah itu menandakan bahwa dia tidak sakit? Frangi meraba kening. Suhu badannya normal, tidak pusing, demam atau flu. Dia sehat.
Perlahan Frangi mengangguk. “Aku tidak sakit.”
“Sendirian?”
Frangi menatap sekeliling. Ada banyak orang. Tak seorang pun dikenalnya. Bahkan, sekadar pernah bertemu pun, rasanya tidak. Artinya, dia memang sendirian. Kembali Frangi mengangguk. “Ya, aku sendirian.”
“Kau dari mana?” tanya pria itu lagi.
Nah, itu yang sama sekali tidak diketahuinya. Mendadak saja dia berada di tempat ini. “Aku tidak tahu,” jawab Frangi jujur.
"Lalu, akan ke mana?”
Itu juga dia tidak tahu. Frangi menggeleng. “Entahlah, seingatku, aku tidak berencana pergi ke mana pun.”
Pria itu tampak berpikir sesaat. “Agaknya kau tersesat,” katanya.
Nah, itu rasanya yang paling tepat. Frangi mengiyakan. Tersesat. Tidak tahu arah, kehilangan orientasi.
“Agaknya begitu.”
“Lalu, sekarang kau akan ke mana?”
“Pulang,” jawab Frangi, cepat.
“Di mana rumahmu?”
Frangi menyebutkan nama kotanya.
Pria itu terkejut. “Jadi, bagaimana kau sampai di sini?”
“Entahlah.”
"Atau, kau naik kereta api dan turun di stasiun yang salah?” tanyanya lagi, berusaha menemukan jawaban.
Frangi mulai putus asa. “Mengapa aku tidak ingat apapun?”
“Hmm, baiklah,” pria itu tidak mendesak lebih jauh.Keputusasaan Frangi menghentikan pertanyaannya. Sesaat dihelanya napas panjang. “Tidak banyak kendaraan umum menuju ke kotamu. Maksudku, yang bisa diandalkan sesuai kondisimu saat ini. Yang terbaik adalah kereta api. Tapi, kereta hanya datang satu kali sehari, jadi kau harus menunggu sampai besok.”
“Begitu?” Frangi tercekat. Membayangkan diri bermalam di sebuah tempat yang asing dan sendirian. Sama sekali bukan hal yang nyaman.
“Tidak ada yang kukenal di sini.”
“Jangan khawatir,” pria itu tersenyum. Tatap matanya teduh menenangkan. “Ini kota kecil yang relatif aman. Pergi ke mana pun dekat. Bisa kau tempuh dengan jalan kaki.”
“Jam berapa kereta datang besok?”
“Hampir tengah hari.“
Frangi mengangguk. “Aku perlu tempat bermalam.”
"Stasiun dan penginapan ada di sekitar sini. Jalan saja lurus ke selatan. Nanti, setelah persimpangan, berbeloklah ke kanan. Ada penginapan kecil di situ,” pria itu menunjukkan arah.
“Aku akan ke sana,” Frangi mengikuti arah petunjuk itu. “Terima kasih atas bantuannya.”
“Kau yakin bisa ke sana sendirian? Atau, perlu kuantar?”
“Kurasa, petunjukmu cukup jelas. Lagi pula, sepertinya, tak jauh. Persimpangan itu bahkan sudah tampak dari sini.”
“Baiklah. Hati-hati, ya,” kata pria itu, santun.
Frangi mengangguk, lalu dilambaikannya tangan, sembari melangkah. Baru berjalan beberapa langkah, terdengar suara langkah yang bergegas mengikutinya. Langkah Frangi terhenti dan menoleh. Tampak pria itu tersenyum, sambil menyusul langkahnya.
“Kuantar saja, ya?” katanya, ringan.
“Kau?”
Pria itu mengangguk. “Perasaanku tak nyaman meninggalkanmu. Lagi pula, waktuku luang. Tidak ada yang harus kuselesaikan dengan segera.”
Frangi tersenyum menatap pria itu. Rasa lega mengalir tiba-tiba. Telah diperolehnya seorang sahabat baru hari ini. Sahabat baru dengan mata menyiratkan kebaikan hati yang bisa dipercaya. Betapapun, didampingi seseorang di tempat yang serba asing begini, pastilah lebih baik daripada seorang diri.
“Terima kasih. Namaku Frangi,” diulurkannya jemari tangan.
“Dari Frangipani? Bunga putih itu?”
Frangi mengangguk.
“Hmm, nama yang menarik. Panggil aku Bambu,” gumamnya, sambil menerima jabat tangan gadis itu.
Bersambung
Penulis: Sanie B Kuncoro
i love this one...great say...
BalasHapus